Senin, 19 Desember 2011

Hingga Pensiun, Terima Gaji Terbesar Cuma Rp50 Ribu





*Kasirah, 32 Tahun Mengabdi Sebagai Guru Honor

Guru “tua” seperti Kasirah mungkin dinilai barang rongsokan yang bisa dibuang atau diabaikan setelah terlihat tak berdaya. Hingga pensiun, dirinya menerima gaji terbesar cuma Rp50 ribu. Bahkan selama 32 tahun lebih mengabdi tanpa sedikitpun ada tanda jasa.

DODI CHANDRA – Musi Rawas

Kasirah, warga Desa Bumi Agung Kecamatan Muara Beliti ini tampak riang menyambut Musirawas Ekspres saat mendatangi kediamannya, Selasa (13/12). Wanita yang dilahirkan 70 tahun lalu di Banyumas Jawa Tengah ini didampingi Sudirman, suaminya, bercerita tentang masa lalunya ketika masih aktif mendidik murid.

“Saya sudah lama tidak mengajar sejak tahun 2004 lalu. Sudah tua, umur 63 tahun sudah tidak sanggup lagi bekerja. Saya bersyukur masih diberi kesehatan,” kata wanita yang mempunyai enam anak 18 cucu dan empat cicit ini mengawali cerita.
Selepas lulus dari SGB (SR + 4 tahun pendidikan guru) ia mulai terjun ke dunia pendidikan. Pada tahun 1962, ia ditugaskan mengajar di SR kejawar I Banyumas, Jawa Tengah. Dengan pangkat pegawai bulanan sebagai Guru Indria, dengan gaji pokok sebesar Rp492.

 

Lantaran harus mengikuti suaminya yang pindah tugas ke Way Tuba, Lampung Utara. Ia lalu mengajukan permohonan istirahat diluar tanggungan Negara. Suaminya bekerja dibagian alat alat berat besar di Perusahaan Negara Mekanika Pertanian (PN Meka Tani). “Kebetulan disana ada SD saya melamar dan diterima sebagai tenaga lepas dengan honor sebesar Rp105,” tandasnya.

Pada September di tahun yang sama, dirinya diangkat menjadi pegawai PN Mekatani dengan pangkat Prakarya Pertama golongan I B dengan gaji pokok sebesar Rp500. satu bulan kemudian diangkat menjadi Pjs Kepala Sekolah selama satu tahun lebih. Lantaran tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup, setahun kemudian dirinya mengajukan pengunduran diri dengan hormat.

Lalu pada Juni 1969 pindah ke Sumatera Selatan yakni di Desa Bumi Agung Kecamatan Muara Beliti. “Pada saat masih baru-baru pecah Gestapu, penduduk disini banyak yang tersangkut dan banyak yang pindah. Baru-baru disini sangat sunyi. Penduduk masih jarang. Kami memulai hidup dengan menjadi petani,” kenangnya.

Pada tahun 1972, Cabang Muhammadiyah membuka sekolah, dirinya diminta untuk mengajar. karena masih awal, waktu itu menampung siswa sekitar 15 orang. Tempatnya di emperan rumah gindo (kades). Kurang lebih satu tahun tempatnya pindah (sekarang menjadi Polindes) dan sekolah ini berakhir pada tahun 1981.

“Imbalan saya pada waktu itu dari pribadi walimurid yakni uang sebesar Rp15 dan beras 1 kg perbulan,” jelasnya. Pada tahun ketiga sekolah ini sudah mempunyai tiga kelas murid. Ketiga kelas ini semuanya diajarkan seorang diri. Hanya saja, waktu itu kelasnya dibagi. Pagi untuk kelas satu dan kelas tiga. Kalau kelas satu sudah pulang, barulah kelas dua masuk. “Untuk melanjutkan kelas 4 saya over ke SDN Q Tambah Asri,” jelasnya.

Pada tahun 1981, SDN Inpres dibuka dan semua murid di sekolah itu dipindahkan ke sekolah tersebut. “Ya terpaksa saya kembali berhenti,” ucapnya. Ketika itu guru SDN Inpres hanya ada satu guru yakni kepala sekolahnya saja yaitu M Nuh Agus dari B Srikaton.

Karena jarak rumah kepala sekolah dan gedung sekolah jauh apalagi kalau hujan tanah jadi becek. Sehingga menghambat perjalanan kadang malah kepala sekolah sering tidak datang. “Untuk itu, saya kembali dipanggil untuk kembali mengajar. Saya ditugaskan untuk mengajar kelas satu dan kelas dua. Sementara kepala sekolah mengajar kelas tiga,” kata wanita yang juga mengajar ngaji dan sudah tujuh orang murid berhasil mengkhatam al quran yang semuanya belajar dari iqro’.

Pada waktu itu dirinya diberi imbalan sebesar Rp6 ribu. Kemudian dinaikkan menjadi Rp 15 ribu lalu menjadi 25 ribu. “Pada saat terakhir saya mengundurkan diri gaji terbesar Rp 50 ribu,” kenang wanita yang juga menjadi kader posyandu dan kader KB sejak tahun 1980 hingga kini masih aktif.

Dari Sekolah SDN Inpres inilah sejak kepala sekolah pertama hingga ke kepsek terakhir dirinya selalu diusulkan untuk untuk diangkat menjadi PNS, namun selalu terkendala. “Perjalanan hidup saya nampaknya sudah digariskan hanya untuk mengabdi kepada masyarakat. Sejak tahun 1972 mengajar di Desa Bumi Agung hingga 2004. Saya jalani dengan ikhlas,” jelasnya.

Ada pesan bijak yang disampaikan Kasirah. Menurut dia, menjadi guru, bukanlah pekerjaan mudah. Didalamnya, dituntut pengabdian, dan juga ketekunan. Harus ada pula kesabaran, dan welas asih dalam menyampaikan pelajaran. Sebab, sejatinya, guru bukan hanya mendidik, tapi juga mengajarkan. Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu menjalankannya.

“Jika ingin merasakan pengalaman batin yang berbeda, cobalah menjadi guru. Rasakan kenikmatan saat setiap anak-anak itu memanggil anda dengan sebutan itu, dan biarkan mata penuh perhatian itu memenuhi hati anda. Ada sesuatu yang berbeda disana,” ungkapnya mengakhiri perbincangan. (*)

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More