Selasa, 13 Desember 2011

Pendapatan Rendah, Sektor Pertanian Tak Lagi Menarik



*Maraknya Alih Fungsi Lahan

Pendapatan petani yang rendah, mahalnya harga pupuk dan malah terkadang langka, membuat sektor pertanian tak lagi menarik. Selain itu, tingginya nilai tanah menjadi motif para petani untuk menjual lahan sawahnya kepada pihak lain. Alih fungsi sawah ini mengancam upaya pencapaian swasembada beras serta dapat menyurutkan jargon Musi Rawas sebagai lumbung beras.

DODI CHANDRA - Tugumulyo

Setiap tahunnya areal persawahaan di kawasan Merasi terus menyusut. Kebanyakan areal persawahan beralih fungsi menjadi perumahan dan ruko. Jika tidak segera dihentikan, areal persawahan di Kabupaten Musi Rawas tiap tahun bakal berkurang.

Padahal kawasan persawahan ini menjadi “pemandangan desa”. Kawasan yang selalu diidentikkan dengan pemandangan sawah, air sungai yang mengalir, dan landscape gunung dari kejauhan. Karena sawah ini terletak di pinggir jalan utama keluar masuk Merasi. 


Maka bagi penduduk keberadaan sawah ini adalah hiburan cuci mata ketika pergi dan pulang beraktivitas. Warga dapat melihat para petani menggarap sawah untuk ditanami padi, memanen padi yang menguning, atau melihat kawanan bebek yang diangon mencari dedak padi di sawah.

“Manusia memang butuh tempat tinggal dan kecukupan sandang pangan. Pertambahan penduduk dan faktor ekonomi yang kian tinggu di Tugumulyo mengakibatkan sawah-sawah itu beralih fungsi menjadi pemukiman dan ruko,” ujar Hadi Siswanto (46) salah seorang Petani di Desa F Trikoyo saat dibincangi Musirawas Ekspres, Senin (5/12). 

Menurut dia, pengalihfungsian sawah itu terpaksa dilakukan karena tidak lagi bergairah untuk menggarap sektor pertanian. Biaya penanaman untuk satu kali musim tanam mahal. Belum lagi ditambah dengan obat-obatan yang mahal dan terkadang susah didapat.

Kemudian, rendahnya harga jual beras di tingkat petani setiap kali musim panen selalu menurun yang terkadang harus menumpuk di penggilingan tidak ada pembeli. Rendahnya harga jual ini disebabkan tidak adanya penampung yang membeli hasil panen sehingga petani terkadang menjual hasil panen mereka dengan harga yang sudah ditentukan tengkulak.

“Pemerintah dan Bulog dinilai tidak terlalu serius menanggapi kesulitan petani ini, karena selama ini belum ada petugas Bulog yang membeli hasil panen petani langsung ke petani yang ada selama ini Bulog bekerja sama dengan pengumpul yang harga belinya jauh di bawah harga tengkulak,” jelasnya.

Ditambahkannya, pihak Bulog mau membeli beras dari petani hanya pada saat musim panen, dimana pada saat itu ketersediaan beras cukup melimpah sehingga mempengaruhi harga jual bahkan tidak sesuai dengan Harga Pokok Penjualan (HPP) yang sudah ditetapkan pemerintah.

Selain itu, soal air irigasi yang tak kalah penting mempengaruhi alih fungsi sawah. Banyak jaringan irigasi yang bangunan-bangunannya masih tetap utuh. Belum ada yang terlalu parah. Beberapa ruas irigasi tetap dilakukan perbaikan. Padahal tidak ada airnya. “Dalam beberapa tahun terakhir ini, debit air  tidak cukup untuk mengairi lahan sawah yang selama ini dijadikan sebagai tumpuan harapan untuk menafkahi keluarga,” ujar Tugino (45) yang mengaku sudah menjual sawahnya tidak lebih dari Rp100 ribu per meter itu.

Lain halnya dengan Hasan (35). Ia berharap adanya aturan yang membatasi pembangunan ruko dan perumahan. Sebab bila tidak dibatasi, areal persawahaan yang masih jadi sumber hidup para petani akan ikut tergusur. "Selama ini belum ada kebijakan terkait rencana tata ruang wilayah dan belum adanya insentif bagi petani dalam mempertahankan ketersediaan lahan sawahnya," jelasnya.

Pengalihfungsian lahan ini telah berdampak pada produksi padi yang semakin berkurang dari tahun ke tahun, sementara pertumbuhan dan penambahan penduduk terus meningkat dari waktu ke waktu, sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan antara produksi padi dan jumlah penduduk.

Sementara itu, pada Januari 2011 Bupati mengeluarkan Surat Edaran yang merujuk UU nomor 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 41/permentan/OT.140/9/2009 tentang kriteria tekhnis kawasan peruntukan pertanian, berisikan keprihatinan alih fungsi lahan pertanian akibat adanya peningkatan penduduk dengan kebutuhan lahan perumahan dan kawasn perdagangan khususnya di kawasan pertanian beririgasi teknis.

Bupati juga mengintruksikan agar semua pihak tidak merekomendasikan dan atau menerbitkan izin IMB pada lahan pertanian pangan menjadi komoditas di luar tanaman pangan.

Dalam UU itu, bagi yang mengalih fungsikan lahan pertanian irigasi teknis didenda Rp1 Milyar dan harus mengganti lahan yang sama di daerah lainnya seluas tiga kali lipat dari lahan yang dilaihfungsikan. kemudian untuk sawah setengah irigasi teknis mengganti dua kali lipat dan sawah tadah hujan mengganti sesuai ukuran lahan yang dialih fungsikan.

Lalu, sejauh mana UU tersebut diberlakukan? Toh sepanjang jalan tiap hari, ada saja truck-truck besar yang berisi tanah menimbun areal persawahan. “Birahi” kaum kapitalis untuk mengeruk laba kian tinggi. Mereka tenteram, mereka diuntungkan oleh sektor pertanian yang kian lama kian tak menarik itu.

Bagi sebagian kalangan terutama aktifis lingkungan, menyebutkan mereka adalah bajingan besar. Namun tak semua orang ikhlas menyebut mereka bajingan besar. Para pembela kaum pemodal berkata, mereka hanyalah orang-orang baik yang menyediakan barang dan jasa. (*)

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More